Yayasan Sekolah Kristen Indonesia – Great School

Google, AI, dan Anak-Anak: Belajar Berpikir Kritis di Era Digital

Suatu kali ketika mengajar, saya mengajak anak-anak berdiskusi tentang isu yang sedang hangat. Begitu saya lontarkan pertanyaan, hampir semua tangan langsung terangkat tinggi-tinggi. Mereka berebut ingin menjawab, dengan wajah penuh semangat. Jawaban-jawaban yang mereka mereka berikan cukup meyakinkan. Namun, rasa penasaran membuat saya bertanya lebih jauh, “Ide itu kamu dapat dari mana?”. Hampir serentak, mereka menjawab, “Dari Google, Pak.”

Ternyata, sebagian besar gagasan yang mereka sampaikan bukan dari hasil olah pikiran kritis mereka, melainkan informasi yang mereka temukan sebelumnya di internet. Mereka sekadar menyampaikan ulang apa yang pernah dibaca. Sekilas memang tampak pintar, tapi saya menyadari ada yang hilang: kedalaman berpikir. Mereka mampu menyebutkan informasi, tetapi belum terbiasa menelusuri lebih dalam, menghubungkan fakta, atau mempertanyakan kebenaran dari jawaban tersebut. Mereka menyampaikan jawaban, tetapi mengutip jawaban dari Google, tanpa disertai argumen yang memadai.

Argumen yang Kuat

Argumen bukanlah opini atau perasaan, tetapi sebuah gagasan yang didasarkan  pada data, fakta, dan logika. Menurut Gorys Keraf, argumentasi adalah retorika untuk memengaruhi orang lain dengan menyusun fakta secara logis. Artinya, sebuah argumen harus memiliki dasar yang jelas. Sebagai contoh, misalnya:

 

  • “Saya setuju bahwa belajar harus dilakukan dengan disiplin, karena penelitian menunjukkan konsistensi waktu belajar meningkatkan daya ingat dan pemahaman.”
  • Saya setuju bahwa belajar harus disiplin, soalnya penting.”

 

Apa bedanya dua pernyataan itu? Yang pertama punya bukti dan penalaran, sedangkan yang kedua hanya opini tanpa dasar kuat. Mengajarkan anak membuat argumen yang kuat berarti melatih mereka untuk tidak berhenti pada jawaban cepat dan instan serta tidak mendalam, tetapi menggali lebih dalam, berfikir kritis : Kenapa? Apa buktinya? Apakah ada contoh yang nyata?

Pentingnya Berpikir Kritis

Sejak zaman filsuf Socrates, manusia diajak untuk tidak menerima segala sesuatu begitu saja, melainkan dipertanyakan dan diuji kebenarannya alias dikritisi. Berpikir kritis melatih seseorang untuk :

  • Menganalisis informasi secara objektif.
  • Membedakan fakta dan opini.
  • Melihat hubungan sebab-akibat.
  • Menilai apakah sebuah kesimpulan masuk akal atau tidak.

Bagi anak-anak, berpikir kritis sebenarnya bukan hanya untuk pelajaran di sekolah. Hal itu juga berguna saat mereka menonton video, membaca berita, atau mendengar cerita teman. Contoh sederhananya, ketika melihat jalanan macet, anak bisa bertanya, “Mengapa semua orang memilih motor? Mengapa aturan lalu lintas sering diabaikan?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu membuat mereka lebih peka, tajam, dan tidak mudah dibodohi.

Google dan AI: Alat, Bukan Jawaban

Kalau dulu anak-anak bisa mengandalkan Google, kini ada tambahan “teman baru” yaitu Artificial Intelligence (AI). Dengan AI, jawaban bisa muncul lebih cepat, lebih panjang, bahkan lebih meyakinkan. Namun, baik Google maupun AI hanyalah alat bantu, bukan merupakan kebenaran yang mutlak. Mereka memang bisa memberi informasi, tetapi tidak selalu benar, lengkap, atau relevan.

Bahaya akan muncul jika anak-anak hanya menelan mentah-mentah jawaban dari Google atau AI. Mereka bisa menjadi pasif, malas berpikir, dan terlalu bergantung. Karena itu, penting sekali anak belajar melihat Google dan AI sebagai pintu masuk untuk eksplorasi, bukan sebagai akhir dari pencarian.

Peran Guru dan Orang Tua

Peran guru dan orang tua sangat krusial, supaya anak-anak tetap berkembang kemampuan berfikir kritisnya. Di sekolah, guru bisa melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mengajukan pertanyaan terbuka, bukan hanya “Apa jawabannya?”, tetapi “Mengapa kamu memilih jawaban itu?”
  2. Mendorong diskusi : siswa diminta membandingkan sumber Google atau AI, lalu menguji mana yang paling kuat.
  3. Menghubungkan dengan kehidupan nyata  : misalnya, saat bicara soal polusi, guru bisa ajak siswa mengamati kondisi udara di sekitar sekolah.
  4. Memberi contoh argumen yang baik : guru menunjukkan bagaimana sebuah gagasan disusun dengan data, logika, dan contoh.

Sedangkan peran orang tua di rumah, bisa melakukan hal-hal demikian dengan anak-anak, antara lain :

  1. Bertanya balik, bukan langsung memberikan koreksi dengan bertanya, “ “Menurutmu kenapa Google dan AI memberi jawaban begitu?”
  2. Mengajak anak berlatih membandingkan sumber dengan mengajarkan anak membedakan fakta, opini, dan kesimpulan.
  3. Gunakan momen sehari-hari. Dari berita TV, media online,  cerita di meja makan, hingga pengalaman di jalan, semua bisa jadi bahan berpikir kritis.
  4. Arahkan penggunaan AI dengan sehat. Gunakan AI untuk brainstorming, lalu diskusikan apakah masuk akal atau tidak.

Dengan peran bersama ini, anak belajar bahwa berpikir kritis adalah kebiasaan, bukan sekadar keterampilan di sekolah. Harapannya, kebiasaan itu bermanfaar dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup

Anak-anak pada masa sekarang tumbuh di era berlimpah informasi. Google dan AI memberi akses yang luar biasa luas, tetapi minim kemampuan berpikir kritis. Semua itu hanya membuat mereka pandai mencari, bukan pandai memahami. Oleh karena itu, baik di rumah maupun di sekolah, tugas kita adalah mendampingi mereka agar tidak sekedar mengutip jawaban, tetapi juga menyusun gagasan yang dalam, tajam, dan penuh makna. Dengan demikian, anak-anak akan siap menghadapi dunia, bukan sekadar sebagai konsumen informasi, tetapi sebagai pribadi yang berani bertanya, berani berpikir, dan berani berargumen dengan benar.