Mengapa Anakku Mudah Marah dan Cepat Bosan?
Mamah A : “Mam, anakku tuh kok gampang marah. Ada ajaa yang bisa menyulut kemarahannya. Eh…cuma disuruh mandi aja bisa ngambek. Belajar lama dikit marah, suruh nata mainan marah….pusiiing banget….Mana kesabaranku setipis tissue dibelah tujuh…”
Mamah B : “Waaah…kirain cuma aku yang rempong handle anakku yang perilakunya juga ga beda. Baru main sebentar udah bilang bosan, terus marah-marah nggak jelas.”
Mamah A : “Kok bisa yaa… Umur anak kita kan beda jauh, tapi kelakuannya kok ga beda yach, gampang emosi, gampang bosen.”
Mamah B : “Bener! Kayaknya anak-anak sekarang tuh cepet banget mood swing-nya. Kadang aku galau harus sabar atau tegas.”
Mamah A : “Nah, itu! Serba salah. Mau marah, nyesel. Mau sabar terus, capek juga. Jadi ibu tuh emang nggak ada habisnya, ya?”
Mamah B : “Fix, Mam. Capek hati tapi tetep cinta.”
Anak Mudah Marah dan Cepat Bosan: Fenomena yang Makin Sering Kita Temui
Dari percakapan itu, mungkin situasi yang sama juga sedang kita hadapi sebagai orang tua dalam mendampingi anak-anak kita. Anak-anak Generasi A dan Generasi Z tumbuh di lingkungan yang serba cepat, instan, dan langsung memenuhi keinginan. Dengan sekali sentuhan, mereka bisa menonton video tanpa menunggu, bermain game tanpa giliran, atau menemukan jawaban tanpa berpikir panjang. Kemudahan ini membuat segalanya terasa mudah didapat tanpa usaha besar. Namun, di balik kenyamanan tersebut muncul tantangan baru: mereka cenderung kurang sabar, mudah marah, dan cepat frustrasi saat sesuatu tak berjalan sesuai harapan.
Mengapa Anak Mudah Marah dan Cepat Bosan
Kejadian seperti ini kerap kita temui baik di rumah, di sekolah, atau bahkan di tempat umum. Saat permainan tidak sesuai keinginan, mereka langsung menolak. Saat diminta menunggu, mereka merengut atau menangis. Ketika menghadapi kesulitan kecil, mereka segera menyerah dan berkata, “Aku nggak bisa atau ini sulit” Fenomena ini cerminan dari kemampuan pengendalian diri (self-regulation) yang belum terbentuk dengan baik.
Secara psikologis, kondisi ini berkaitan dengan kemampuan self-regulation atau pengendalian diri yang belum berkembang secara optimal (Zimmerman, 2000). Self-regulation adalah upaya sistematis seseorang untuk mengarahkan pikiran, perasaan dan tindakan demi mencapai tujuan pribadi. Apabila kemampuan ini belum berkembang secara optimal, seseorang akan mengalami kesulitan dalam beberapa aspek yang salah satunya adalah pengelolaan emosi. Menurut Goleman (1995), kecerdasan emosional (emotional intelligence) berperan penting dalam membantu anak memahami dan mengelola emosinya.Sementara itu, teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (1985) menjelaskan bahwa kebosanan sering muncul ketika kebutuhan dasar psikologis anak—yakni otonomi, kompetensi, dan keterhubungan—tidak terpenuhi.
Perilaku mudah marah dan cepat bosan kini terlihat pada anak berbagai usia. Hal ini menandakan bahwa pengelolaan emosi bukan semata persoalan umur, melainkan hasil dari proses tumbuh kembang yang dipengaruhi banyak faktor. Anak kecil bisa marah karena belum mampu mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, sementara anak yang lebih besar mungkin meluapkan kemarahan sebagai bentuk frustrasi atau tekanan batin yang belum tertangani.
Pola Asuh dan Lingkungan Digital sebagai Faktor Penting
Pola asuh memegang peran penting dalam membentuk kemampuan anak mengelola emosi. Ketika orang tua terlalu cepat memenuhi keinginan anak tanpa memberi ruang untuk menunggu atau berusaha, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang kurang tahan terhadap kekecewaan. Sebaliknya, pola asuh yang terlalu keras bisa menimbulkan rasa tidak aman dan membuat anak mudah marah. Karena itu, diperlukan keseimbangan antara kasih sayang dan ketegasan agar anak dapat memahami batasan serta tanggung jawabnya tanpa merasa terbebani.
Lingkungan dan media digital kini memberi pengaruh besar pada kehidupan anak-anak. Hidup di tengah arus informasi serta hiburan instan membuat mereka terbiasa memperoleh kepuasan segera—tayangan singkat, permainan yang cepat diselesaikan, hingga respons instan dari media sosial. Kebiasaan ini perlahan mengurangi kemampuan mereka untuk fokus, menunggu, dan menghargai proses. Saat dunia nyata berjalan lebih lambat dibanding dunia digital, mereka pun cenderung cepat merasa bosan, frustrasi, atau marah.
Peran Orang Tua dalam Pendampingan Emosional
Pendampingan emosional yang tepat bagi anak-anak kita akan membantu mereka dalam mengelola perasaan mudah marah dan cepat bosan mereka. Anak tidak hanya membutuhkan aturan, tetapi juga kehadiran yang memahami perasaan mereka. Ketika anak marah, sering kali mereka bukan sedang menolak kita, tetapi sedang kesulitan memahami dirinya sendiri. Di sinilah pendampingan emosional menjadi penting—mendengarkan dengan empati, membantu mereka menamai perasaan, dan menuntun untuk menemukan cara yang tepat menyalurkannya.
Keteladanan dari kita sebagai orang tua juga sangat berperan penting dalam mereka mengelola perasaan mereka. Anak belajar dari pengalaman nyata, dari cara kita berbicara, bereaksi, dan menenangkan diri. Jangan sampai kita sendiri sebagai orang tua menjadi contoh yang kurang baik dalam kita mengelola emosi kita. Sikap kita yang sabar, konsisten, dan penuh pengertian memberi contoh nyata bagaimana menghadapi frustasi dengan bijak.
Tujuh Strategi Praktis Membantu Anak Lebih Sabar
Berikut tips dan trik dari para ahli psikologi anak dan pendidikan yang terbukti membantu anak menjadi lebih sabar dan tidak cepat bosan:
1. Latih Delay Gratification (menunda kesenangan)
Menurut Walter Mischel (peneliti Marshmallow Test di Stanford University), kemampuan menunggu adalah kunci pengendalian diri.
Latihan sederhana: ajak anak untuk melakukan kegiatan di rumah, contohnya membuat kue yang membutuhkan waktu menunggu sebelum menikmati camilan favoritnya,
2. Validasi Emosi Anak
Psikolog Dr. John Gottman menekankan pentingnya emotion coaching — membantu anak mengenali dan memberi nama pada emosinya.
Contoh: Saat anak menangis karena kecewa tidak bisa bermain, validasi dilakukan dengan berkata, “Mama paham, kamu sedih karena tidak jadi main. Perasaan itu wajar, kok”.
3. Berikan Tantangan yang Sesuai Usia
Menurut teori Zona Perkembangan Proksimal (Lev Vygotsky), anak belajar paling baik saat diberi tugas yang tidak terlalu mudah tapi masih bisa dicapai dengan bimbingan.
Contoh: berikan kesempatan anak untuk mengelola jadwal belajar dan waktu istirahat mereka sendiri
4. Bangun Rutinitas dan Konsistensi
Menurut Dr. Laura Markham (Aha! Parenting), anak yang memiliki rutinitas lebih mudah mengatur diri dan lebih sabar. Rutinitas membuat anak tahu apa yang akan terjadi, sehingga mengurangi rasa bosan dan cemas.
5. Fasilitasi Aktivitas yang Melatih Fokus dan Ketekunan
Contoh: berkebun, menggambar, memasak, atau membuat prakarya — kegiatan yang butuh waktu dan ketelitian.
6. Orang Tua Jadi Teladan Emosi
Menurut Albert Bandura (teori social learning), anak belajar dari contoh. Jika orang tua tetap tenang saat menghadapi situasi sulit, anak akan meniru cara itu dalam mengelola emosinya.
7. Batasi Paparan Gawai dan Media Digital
Penelitian oleh American Academy of Pediatrics (AAP) menunjukkan bahwa paparan layar berlebihan menurunkan kemampuan fokus dan meningkatkan impulsivitas. Atur waktu layar dan ajak anak melakukan kegiatan nyata yang melibatkan gerak dan interaksi sosial.
Menumbuhkan Kesabaran dan Empati Bersama Anak
Anak-anak yang mudah marah dan cepat bosan bukan berarti bermasalah; mereka justru sedang dalam proses belajar memahami dunia dan dirinya sendiri. Peran orang tua bukanlah untuk memadamkan setiap emosi yang muncul, melainkan menemani mereka melewati fase-fase tersebut dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Setiap kali orang dewasa memilih untuk tetap tenang di saat anak marah, atau dengan sabar memberi ruang ketika anak merasa bosan, sesungguhnya sedang mengajarkan makna kesabaran, ketekunan, dan empati pada anak. Pendampingan ini memang tidak selalu mudah, namun sangat bermakna—karena seiring anak-anak bertumbuh melalui berbagai proses tersebut, orang tua dan guru pun ikut bertumbuh menjadi insan yang lebih bijak dan penuh kasih.
Daftar Pustaka
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. New York: Plenum Press.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.
Zimmerman, B. J. (2000). Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective. In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of Self-Regulation (pp. 13–39). San Diego, CA: Academic Press.
American Academy of Pediatrics. (2016). Media and Young Minds. Pediatrics, 138(5), e20162591. https://doi.org/10.1542/peds.2016-2591
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Gottman, J., & DeClaire, J. (1997). The Heart of Parenting: Raising an Emotionally Intelligent Child. New York: Simon & Schuster.
Markham, L. (2012). Peaceful Parent, Happy Kids: How to Stop Yelling and Start Connecting. New York: TarcherPerigee.
Mischel, W. (2014). The Marshmallow Test: Mastering Self-Control. New York: Little, Brown and Company.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.