Mengatasi Krisis pada Anak

Dalam kehidupan seorang anak, masa tumbuh kembangnya tidak selalu berjalan mulus. Di balik tawa dan keceriaan yang tampak di permukaan, sering kali tersembunyi kegelisahan, ketakutan, dan tekanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada kalanya anak menghadapi situasi yang mengguncang emosinya secara mendalam, sebuah kondisi yang dikenal sebagai krisis psikologis. Krisis ini, meskipun tampak sepele di mata orang dewasa, sesungguhnya bisa berakibat panjang apabila tidak ditangani secara bijak.
Sebagai contoh, seorang anak bernama A yang duduk di kelas 5 SD pulang dari sekolah dalam kondisi murung. Ia baru saja mengalami penolakan dari teman-temannya karena tidak ingin ikut bermain saat jam istirahat. Orang tuanya, tanpa mencoba memahami konteks, justru menegur A dengan kalimat pendek, “Jangan cengeng, urusan anak-anak itu biasa.” Respons ini tidak hanya menutup ruang dialog antara anak dan orang tua, tetapi juga meninggalkan luka emosional yang berpotensi berkembang menjadi masalah harga diri dan kecemasan sosial. Penelitian oleh Eisenberg et al. (2005) menunjukkan bahwa respons orang tua yang tidak responsif terhadap emosi anak dapat menghambat kemampuan anak untuk mengenali dan mengatur emosinya secara sehat. Akibatnya, anak-anak yang tidak mendapat pendampingan yang tepat dalam menghadapi krisis cenderung mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, akademik, bahkan rentan terhadap gangguan psikologis seperti depresi atau kecemasan.
Penting untuk dipahami bahwa krisis psikologis pada anak bukanlah sesuatu yang hanya terjadi sesekali, melainkan bagian alami dari proses tumbuh kembang. Setiap tahap perkembangan anak membawa tantangan psikososial yang berbeda. Pada usia taman kanak-kanak (TK), anak mulai mengalami krisis perpisahan dengan orang tua, terutama saat pertama kali masuk sekolah. Anak bisa merasa tidak aman, takut ditinggalkan, atau bingung menghadapi lingkungan sosial baru (Bowlby, 1988). Saat memasuki usia sekolah dasar (SD), krisis berkembang menjadi kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan membentuk identitas sosial. Penolakan atau ejekan dari teman sebaya bisa sangat melukai dan menimbulkan perasaan tidak berharga. Di jenjang sekolah menengah pertama (SMP), anak mulai mengalami krisis identitas, di mana mereka mulai bertanya “siapa aku sebenarnya?” dan sangat rentan terhadap pengaruh teman sebaya. Di tingkat sekolah menengah atas (SMA), krisis semakin kompleks karena mulai berkaitan dengan makna hidup, pilihan masa depan, dan tekanan akademik. Erikson (1968) menggambarkan ini sebagai fase krusial dalam pencarian jati diri yang akan membentuk arah kehidupan dewasa anak.
Menghadapi realitas ini, orang tua perlu membekali diri dengan keterampilan dan kepekaan untuk mendampingi anak melewati krisis. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah menjadi pendengar yang aktif dan empatik. Menurut Gottman dan DeClaire (1997), anak-anak akan mengembangkan kecerdasan emosional yang sehat ketika orang tua menjadi “pelatih emosi”, yakni orang tua yang tidak hanya mendengar, tetapi juga membantu anak memahami dan mengelola emosinya. Ketika anak mengalami masalah, hindari respons yang meremehkan seperti “Itu bukan masalah besar.” Sebaliknya, validasi perasaan anak dengan mengatakan, “Mama bisa mengerti kamu kecewa karena temanmu tidak mau bermain denganmu.” Kalimat sederhana ini dapat menciptakan rasa aman dan membuat anak merasa didukung. Selain itu, penting untuk melibatkan anak dalam mencari solusi. Alih-alih memberikan nasihat sepihak, ajak anak berpikir bersama: “Menurut kamu, apa yang bisa kamu lakukan lain kali?” Pertanyaan semacam ini tidak hanya membangun kepercayaan diri, tetapi juga membentuk kemandirian dalam mengatasi masalah.
Strategi lain yang juga krusial adalah menciptakan lingkungan rumah yang terbuka dan tidak menghakimi. Anak-anak harus merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk menjadi diri sendiri, termasuk saat mereka sedang sedih, marah, atau bingung. Orang tua juga perlu menjadi teladan dalam mengelola emosi. Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua mampu menghadapi tekanan dengan tenang dan terbuka dalam berbagi perasaan, anak pun akan lebih mudah meniru pola tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Siegel dan Bryson (2011), pengalaman emosional yang positif di rumah akan memperkuat perkembangan otak anak, khususnya bagian prefrontal cortex yang berperan dalam pengambilan keputusan dan regulasi emosi.
Dalam konteks ini, pendekatan parenting yang diterapkan di lingkungan YSKI menjadi sangat relevan. Kami percaya bahwa membesarkan anak bukan hanya tentang mendidik secara akademik, tetapi juga mendampingi secara emosional dan spiritual. YSKI mengedepankan value SPECIAL (Spiritual, Passionate, Enthusiastic, Caring, Integrity, Adaptive, dan Leader) dalam membentuk karakter anak. Dalam menghadapi krisis, anak-anak di lingkungan YSKI diajarkan untuk terbuka, berdialog, dan menyadari bahwa setiap tantangan bisa menjadi peluang pertumbuhan. Orang tua pun diajak menjadi mitra aktif dalam perjalanan ini melalui berbagai pelatihan parenting dan pendekatan kolaboratif.
Mengatasi krisis pada anak adalah proses panjang yang menuntut kesabaran, empati, dan keterlibatan yang utuh dari orang tua maupun lingkungan sekolah. Setiap anak memiliki potensi untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan resilien, asalkan ia mendapat pendampingan yang tepat sejak dini. Seperti yang tertulis dalam Amsal 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.” Maka, ketika anak-anak kita menghadapi badai emosional, mari kita hadir bukan untuk menyelesaikan semuanya, tetapi untuk menjadi jangkar yang menenangkan.
Daftar Pustaka
Bowlby, J. (1988). A Secure Base: Parent-Child Attachment and Healthy Human Development. New York: Basic Books.
Eisenberg, N., Cumberland, A., & Spinrad, T. L. (2005). Parental socialization of emotion. Psychological Inquiry, 16(4), 241–259. https://doi.org/10.1207/s15327965pli1604_3
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.
Gottman, J. M., & DeClaire, J. (1997). Raising an Emotionally Intelligent Child: The Heart of Parenting. New York: Simon & Schuster.
Siegel, D. J., & Bryson, T. P. (2011). The Whole-Brain Child: 12 Revolutionary Strategies to Nurture Your Child’s Developing Mind. New York: Delacorte Press.