MEMILIKI EMPATI DAN TANTANGANNYA

          Perkembangan teknologi saat ini sangat pesat dan  berpengaruh terhadap perilaku anak baik secara positif dan negatif. Secara positif, melalui media sosial anak dengan mudah dan cepat menerima berbagai hal. Jika dilihat dari sisi negatifnya, perkembangan teknologi berpengaruh terhadap afeksi anak dari sisi emosional; anak berpotensi untuk egois, memikirkan diri sendiri, yang dimana dapat mengakibatkan menurunnya sikap peduli terhadap orang lain, merenggangnya hubungan kekeluargaan serta berdampak perilaku anti sosial. Kita sering melihat, bahkan melakukannya, saat asyik memegang gawai, kita lupa dengan orang-orang di sekitar kita. Interaksi sosial makin minim. Andaikan masih ada, seringnya sangat dangkal. Di samping itu, kerasnya hidup memaksa orang harus berkompetisi, sehingga orang cenderung fokus pada keberhasilan diri sendiri dibanding membangun hubungan emosional.

     Penelitian yang dilakukan oleh Higher Education Reserch Institute menunjukkan bahwa keinginan individu untuk terlibat dalam kegiatan sosial menurun dari 33% menjadi 21% pada generasi milenial. Salah satu penyebab terjadinya krisis moral saat ini dikarenakan menurunnya sikap peduli pada individu itu sendiri. Adapun yang menjadi penyebab menurunnya kemampuan empati yakni lingkungan tempat mereka dibesarkan. Beberapa faktor sosial yang membentuk sikap empati perlahan mulai menurun,  seperti berkurangnya teladan perilaku berempati, pola asuh dari orang tua, pengawasan yang lemah, serta pendidikan kurang memberikan stimulus kepada anak terhadap pertumbuhan karakter empati.

        Fenomena-fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita semua. Penyimpangan perilaku yang muncul dalam bentuk seperti pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan oleh Bencsik menunjukan bahwa generasi muda memiliki karakteristik yang sulit untuk toleransi dalam hal kebodohan, cenderung bertindak individualisme, mencapai antipati lingkungan dengan menyebabkan situasi konflik berdasarkan keyakinan akan diri sendiri. Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan rendahnya empati. Ketidakmampuan seseorang untuk merasakan penderitaan orang lain menyebabkan seseorang untuk mampu melakukan tindakan yang tercela.

       Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk berpikir dan makhluk yang dapat dididik. Maka manusia semestinya mampu berubah dan berkembang menjadi lebih baik. Pendidikan menjadi peran penting dalam proses perubahan sehingga terbentuknya karakter. Pendidikan empati menjadi bagian dari pendidikan karakter yang mampu mengembangkan karakter anak secara mendasar. Empati merupakan kemampuan manusia untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati dibangun mulai pada lingkup self awareness (kesadaran diri). Makin baik atau terbuka terbuka terhadap emosi sendiri, maka semakin baik keterampilan seseorang dalam memahami perasaan orang lain. Emosi sering kali tidak diekspresikan melalui bahasa verbal atau kata-kata, tapi justru lebih diekspresikan dalam bentuk isyarat-isyarat non-verbal, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, dan gerakan bagian tubuh. Maka kemampuan akan empati dari seseorang melibatkan kemampuan untuk membaca dan memahami terhadap bahasa isyarat non-verbal orang lain.

       Proses perkembangan empati pada diri anak dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah pola asuh. Penelitian yang dilakukan Koestner menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh dengan tingkat perkembangan empati pada anak. Keterlibatan ayah dengan baik dalam empathic concern pada masa-masa awal dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan (tolerance of dependency), anak akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini tidak lepas dengan jumlah waktu yang diluangkan untuk melakukan aktivitas bersama anak. Tolerance of dependency diartikan sebagai besarnya tingkat interaksi antara ibu dan anak, dan refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap perasaan anak. Keberhasilan untuk membentuk anak yang memiliki emphatic concern, masing-masing orang tua perlu untuk yakin akan kemampuan anaknya dan tidak cemas. Ayah maupun ibu perlu menjadi orang tua yang responsif dan penuh perhatian. Dalam hal ini orang tua perlu untuk lebih bijak dalam menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Penggunaan alasan-alasan yang tepat dan yang dapat diterima anak dalam menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah menjadi salah satu penguat atau model bagi anak dalam mengembangkan emphatic concern, dalam hal ini anak melakukan proses modeling pada ibu dalam proses perkembangan empati.

       Perkembangan empati pada anak dapat dipengaruhi dari pengalaman akan sosialisasi anak itu sendiri. Semakin banyak dan semakin intensif seseorang dalam melakukan sosialisasi maka akan semakin baik kepekaannya terhadap emosi orang lain. Ketika bersosialisasi anak mengalami berbagai macam bentuk emosi. Sosialisasi dengan orang lain membuat anak dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain. Melalui  sosialisasi akan terjadi proses role taking (menempatkan diri pada posisi orang lain). Melalui sosialisasi akan tumbuh kebiasaan prososial. Perilaku prososial yakni perbuatan ikhlas membantu orang lain sebagai bentuk kepedulian, saling berbagi, memberi penghiburan dan mau kerjasama.

      Perkembangan empati yang baik pada anak juga terlihat pada perilaku-perilaku nyata yang terjadi ketika ada konflik yang muncul pada lingkungan di mana dia berada. Penelitian yang dilakukan McCullough menyatakan bahwa empati akan mempengaruhi atau memotivasi seseorang untuk memberikan maaf terhadap orang lain. Dengan pendampingan orang tua, anak dapat diberikan pemahaman tentang berbagai macam sudut pandang dalam sebuah konflik. Anak kemudian dapat memahami motivasi dan alasan kenapa konflik dapat terjadi. Harapannya kemudian, anak mampu untuk memaafkan sebagai pemulihan atas konflik yang terjadi.

     Terhadap anak-anak kita, generasi yang akan hidup di masa yang akan datang orang tua perlu mewariskan budaya-budaya yang baik agar anak dapat terhindar dari pribadi yang egois yang memikirkan diri sendiri. Dengan menanamkan nilai-nilai empati pada anak, anak dapat bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter. Dengan menjadi teladan bagi anak dalam menunjukkan sikap empati, anak dapat belajar bertumbuh berempati dengan baik. Mendorong anak untuk berdiskusi tentang perasaannya dapat membantu anak untuk memahami dan mengidentifikasi perasaan orang lain. Mengajak anak untuk role taking dapat membantu anak untuk latihan empati. Dengan memberikan kesempatan untuk anak bersosialisasi anak dapat berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung untuk berempati dengan berbagai situasi sosial. Melalui pendampingan saat terjadi konflik, anak dibantu dalam mengelola konflik dengan empati, anak diajarkan untuk menyelesaikan konflik dengan menghormati perasaan orang lain. Pendidikan empati pada anak memerlukan sikap percaya diri bagi masing-masing orang tua, kesadaran dan usaha yang konsisten dari orang tua. Dengan menanamkan nilai-nilai empati yang baik, anak tidak hanya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter tapi berdampak sosial yang baik di lingkungan manapun dia berada.

Semoga para orang tua dimampukan membentuk putra-putrinya untuk memiliki empati di tengah tantangan kecenderungan hidup yang egosentris-individualis.

Gallery Kegiatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *